Takhrij Hadits



Fahrul Rizal
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadist
UIN SGD BANDUNG


عن ابي هريرة رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه و سلم قال ان هذا الدين يسر ولن يشاد الدين احد الا غلبه فسددوا وقاربوا وابشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة. رواه البخاري
A.    Otentisitas Hadits
1.      Rumuz Takhrij
a.       Al-Mu’jam al-Mufahrasy[1]
خ إيمان ٢٩**، ن إيمان ٢٨، حم ٥، ٦٩.
b.      Al-Mawsuat al-Athraf[2]
ن ٨: ١٢٢ـ هق ٣: ١٨ـ  كنز ٥٣٨٤ـ كثير ٤: ١٧٨ـ صحيحة ١١٦١ـ ضعيفة ٨.
c.       Jami’ al-Shaghir
Tidak ditemukan.
d.      Jawami’ al-Kalim
سنن النسائ الصغرى ٥٠٣٤
صحيح ابن حبان ٣٥١
السنن الكيرى للبيهقي٣: ١٨
المقاصد الحسنة فيما اشتهر على الألسنة ١٠٤٣

2.      Fakk al-Rumuz
خ                    : Shohih Bukhori
ن                     : Sunan Nasa’i
حم                  : Ahmad ibn Hanbal
هق                   : Sunan Kubra Baihaqi
كنز                  : Kanzul  ‘Umal lil Muttaqi al-Hindi
كثير              : Tafsir Ibnu Katsir
صحيحة                    : Silsilah al-Shohihah li al-Bani
ضعيفة              : Silsilah al-Dho’ifah li al-Bani
صحيح ابن حبان-محققا: shahih ibn hibban-muhaqqiqan

3.      Tabi’ dan Syahid
a.       Tabi’
1.      Diriwayatkan oleh al-Nasa’i dalam kitabnya Sunan al-Nasa’i, kitab Iman bab no (28) agama yang mudah, nomor hadits 5036.[3]
أخبرنا أبو بكر بن نافع قال حدثنا عمر بن علي عن معن بن محمد عن سعيد عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان هذا الدين يسر ولن يشاد الدين احد الا غلبه فسددوا وقاربوا وابشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة.  
2.      Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya Shohih al-Bukhori, kitab iman bab din al-yusr nomor hadits 38.[4]
حدثنا عبد السلام بن مطهر قال حدثنا عمر بن على عن معن بن محمد الغفارى عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ان هذا الدين يسر ولن يشاد الدين احد الا غلبه فسددوا وقاربوا وابشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة.
3.      Diriwayatkan Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban, no. 351.
351 - أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمِقْدَامِ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ الْمُقَدَّمِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ مَعْنَ بْنَ مُحَمَّدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ أَبِي سَعِيدٍ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا [ص:64] وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوَاحِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ».
4.      Diriwayatkan al-Bayhaqi dalam kitabnya al-sunan al-kubra lilbayhaqi, bab al-qasd fi al-ibadat, wa al-juhdu fi al-mudawamat, no.4741.
4741 - وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَمْرٍو الْأَدِيبُ، أنبأ أَبُو بَكْرٍ الْإِسْمَاعِيلِيُّ، أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، أنبأ مُوسَى بْنُ بَحْرٍ، ثنا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيَّ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ هَذَا الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتعينُوا بِالْغُدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ ". رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ عَنْ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ مُطَهِّرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ
b.      Syahid
Sejauh ini dengan keterbatasan kitab-kitab, belum ditemukan syahid dari hadis yang diteliti.

4.      Tashhih Matan
a.       Hadits yang diteliti sesuai dengan hadits yang aslinya.
b.      Dari 3 tabi’ tersebut terdapat satu hadits yang memiliki redaksi yang berbeda yaitu pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban pada kitabnya Shahih Ibn Hibban.

5.      Skema Sanad

 

6.      Aplikasi Teori TMT2
            Langkah Verifikasi TMT2 pada sanad:
a.      Perbandingan Sanad (Muqoronah)
Hadits الدين يسر  memiliki 4 jalur sanad dengan  satu sahabat sebagai rawiy al-aʻla.
Dari seluruh jalur sanad, diketahui bahwa hadits tersebut memiliki 3 tabi’ dan tidak memiliki syahid.

b.      Tashih
Mukharij
Sanad
Wafat
Ra’yu al-‘Ulama
Darajat al-Hadits
Al-Bukhari w. 256
Abu Hurayrat
57
Sahabi
Hasan
Sa’d bin Abi Sa’d al-Miqbari
120
Thiqat
Ma’n bin Muhammad
-
Maqbul
‘Umar bin ‘Ali
190
Thiqat
‘Abd al-Salam bin Muthahir
224
Saduq
Al-Nasa’i w. 303
Abu Hurayrat
57
Sahabi
Hasan
Sa’d bin Abi Sa’d al-Miqbari
120
Thiqat
Ma’n bin Muhammad
-
Maqbul
‘Umar bin ‘Ali
190
Thiqat
Abu Bakr bin Nafi’
240
Saduq
Al-Bayhaqi w. 458
Abu Hurayrat
57
Sahabi
Hasan
Sa’d bin Abi Sa’d al-Miqbari
120
Thiqat
Ma’n bin Muhammad
-
Maqbul
‘Umar bin ‘Ali
190
Thiqat
Musa bin Bahr
230
Maqbul
Al-Hasan bin Sufyan
303
Thiqat
Abu Bakr al-Isma’ili
277-371
Hafidz Thubut
Abu ‘Amr al-Adib
341-427
Thiqat
Ibn Hibban w. 354
Abu Hurayrat
57
Sahabi
Hasan
Sa’d bin Abi Sa’d al-Miqbari
120
Thiqat
Ma’n bin Muhammad
-
Maqbul
‘Umar bin ‘Ali
190
Thiqat
Ahmad bin al-Miqdam
253
Thiqat
‘Umar bin Muhammad al-Hamdani
311
Thiqat

1.      HR. Bukhori: Dari segi ittishal sanad, dimulai Bukhori-‘Abd al-Salam bin Muṭahir-‘Umar bin ‘Ali dipastikan bertemu karena dilihat dari rasio wafat masing-masing rawi masih berada di bawah 40 tahun. Rasio wafat antara Sa’d al-miqbari dengan Abu Hurairah berjarak 63 tahun, tapi tidak menjadikan hadits tersebut menjadi dhaif karena Sa’d al-Miqbari penilaian ulama terhadapnya adalah thiqat yang menempatkan pada tingkatan ke-4 dan masih masuk pada kategori ṣaḥīḥ. Di antara ‘Umar bin ‘Ali dengan Sa’d al-Miqbari ada seorang rawi yaitu Ma’n bin Muhammad tidak diketahui tahun wafat maupun lahirnya, hanya ada keterangan pandangan ulama terhadapnya yaitu maqbūl (Ibn Hajar al-‘asqalani) dimana hal itu berada pada tingkatan ke-5 pada ilmu jarh wa ta’dil dengan tingkatan haditsnya adalah hasan. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan terdapatnya Ma’n bin Muhammad (maqbūl) dan ‘Abd al-Salam bin Muṭahir  (ṣadūq), maka hadits yang terdapat di dalam kitab Bukhari adalah hasan, meskipun rawi-rawi yang lain memenuhi syarat keshahihan suatu hadits.
2.      HR. Al-Nasa’i: selisih tahun wafat antara al-Nasa’i dan Abu Bakr bin Nafi’ adalah 63 tahun, kemudian antara Abu Bakr bin Nafi’ dan ‘Umar bin ‘Ali adalah 50 tahun, dengan hanya melihat tahun wafatnya saja rawi-rawi yang terdapat pada sanad tersebut bisa dinyatakan mereka tidak ittishal sanad karena selisih di antara mereka lebih dari 40 tahun (batas maksimal selisih antar rawi untuk dikatakan ittishal sanad). Namun tidak hanya bisa hanya melihat tahun wafatnya saja, keshahihan suatu hadits juga ditentukan oleh ke’adilan dan kedhabitan (Ra’yu al-‘Ulama). Dari al-Nasa’i hingga ‘Umar bin ‘Ali terdapat seorang rawi yaitu Abu Bakr bin Nafi’ yang bermartabat ṣadūq, kemudian dari ‘Umar bin ‘Ali hingga Rasul rawi-rawinya sama dengan rawi-rawi yang terdapat pada sanad al-Bukhari. Dengan demikian, pada hadits yang diriwayatkan al-Nasa’i pun terdapat dua orang rawi yaitu Abu Bakr bin Nafi’ (ṣadūq) dan Ma’n bin Muhammad (maqbūl) yang mana dengan keduanya bisa diambil kesimpulan bahwa hadits ini adalah hasan.
3.      HR. Al-Bayhaqi: selisih tahun wafat Bayhaqi dengan Abu ‘Amr al-Adib 31 tahun dan memenuhi syarat ke-ittisholan suatu sanad. Abu ‘Amr al-Adib dengan Abu Bakr al-Isma’ili memiliki selisih 56 tahun, dan antara Abu Bakr al-Isma’ili­ (w.371); al-Hasan bin Sufyan (w.303) sampai Musa bin Bahr (w.230) kalau dilihat dari segi tahun wafat mereka tidak memenuhi syarat ke-ittisholan sanad, karena seluruhnya berselisih di atas 40 tahun. Tapi, ada satu penjelasan mengenai ke-ittisholan sanadnya yaitu Abu ‘Amr al-Adib (341 H-w.427 H) dan Abu Bakr al-Isma’ili (277 H-w.371) memiliki umur yang panjang, jadi ketika Abu Bakr al-Isma’ili wafat Abu ‘Amr al-Adib sudah berumur 30 tahun. Selanjutnya dari Abu Bakr al-Isma’ili sampai Musa bin Bahr tidak ada keterangan mengenai tahun lahirnya, meskipun demikian keshahihan  hadits juga bisa diukur melalui ra’yu al-ulama. Abu Bakr al-Isma’ili dipandang sebagai rawi yang ḥafẓ al-thabt; al-Hasan bin Sufyan dipandang sebagai rawi yang thiqat dan Musa bin Bahr dipandang sebagai rawi yang maqbul. Dari ketiga rawi tersebut dua nama pertama berada pada status hadits yang shahih, sedangkan Musa bin Bahr berada pada posisi hadits hasan, artinya masih dalam status hadits yang bisa diterima/maqbūl. Sedangkan rawi setelah Musa bin Bahr sampai Rasul sama seperti hadits-hadits yang sebelumnya.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqi adalah Hasan, karena terdapatnya Musa bin Bahr dan Ma’n bin Muhammad yang sama-sama dipandang sebagai rawi yang maqbul.
4.      HR. Ibn Hibban: dimuali dari Ibn Hibban (w.354 H)-‘Umar bin Muhammad al-hamdani (w.311 H)-Ahmad bin al-Miqdam (w.253 H)-‘Umar bin ‘Ali (w.190 H), jika dihitung selisih antar rawi tersebut tidak ada yang memenuhi syarat ke-ittishalan sanad karena berselisih di atas 40 tahun. Tapi masing-masing memiliki penilaian ulama yang baik ‘Umar bin Muhammad, Ahmad al-Miqdam dan ‘Umar bin ‘Ali adalah rawi-rawi yang dinilai thiqat. Meski demikian, hadits inipun tidak berarti dinilai shahih karena rawi-rawi setelah ‘Umar bin ‘Ali sama dengan hadits-hadits sebelumnya dimana terdapat seorang rawi yaitu Ma’n bin Muhammad yang dinilai maqbul. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan hadits inipun sebagai hadits hasan.

c.       Tarjih
Setelah melakukan pentashhihan pada setiap sanad hadits, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits yang diriwayatkan melalui jalur sanad al-Bayhaqi yang paling kuat, karena terdapat Abu Bakr al-Isma’ili yang menduduki tingkatan ke-3 pada tingkatan ra’yu al-‘ulama dengan martabat ḥafẓ thabt, Abu ‘Amr al-Adib dan al-Hasan bin Sufyan keduanya bermartabat sebagai rawi yang thiqat dan Musa bin Bahr dinilai maqbul.
Jalur periwayatan Ibn Hibban menempati posisi ke-2, karena ‘Umar bin Muhammad al-Hamdani dan Ahmad bin al-Miqdam keduanya dinilai sebagai rawi yang thiqat, dan rawi yang thiqat berada satu tingkat dibawah ḥafẓ thabt pada tingkatan ra’yu al-‘ulama.
Sedangkan jalur periwayatan al-Nasa’i dan al-Bukhari seimbang pada posisi ke-3, karena Abu Bakr bin Nafi’ (HR. Al-Nasa’i) dan ‘Abd al-salam bin Muthahir (HR. Al-Bukhari) dinilai sebagai rawi yanng menempati posisi ke-5 pada tingkatan ra’yu al-‘ulama yaitu ṣadūq.
Sementara itu, untuk rawi-rawi dari Rasul hingga ‘Umar bin ‘Ali semuanya sama pada setiap jalur periwayatan. Dan penjelasan di atas adalah rawi-rawi setelah ‘Umar bin ‘Ali yang merupakan awal dari berpisahnya jalur periwayatan.


[1] Prel Leiden. Al-Mmu’jam al-Mufahrasy li al-Fazh al-Hadits al-Nabawiy (selanjutnya Prel Leiden). (tt.: Pustaka Prel Leiden, 1936), jilid VII, h. 365.
[2] Abu Hajar Muhammad al-Sa’diy bin Bayumy Zaghlul (selanjutnya Abu Hajar), Mawsuat al-Athraf al-Hadits al-Nabawiy al-Syarif. (Beirut: Pustaka ‘Alam al-Turats, Darr al-Fikr, Darr al-Kutub al-‘Ilmiyat, 1989), jilid III, h. 455.
[3] Al-Imam al-Hafidz Abi Abdurrohman Ahmad bin Syu’aib Ibn Ali bin Sunan bin Dinar al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, (Libanon-Beirut: Darr Ibn Hazm, 1420 H/1999 M). Hal. 719.
[4] Al-Alamah al-Mudaqiq Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahihh al-Bukhori, (Bandung: Diponegoro, tt.) jilid I, h. 25.

0 Comment for "Takhrij Hadits"

Back To Top